Pilar Nasionalisme : Semakin Kokoh atau Merapuh?
Nasionalisme adalah suatu paham yang dianut untuk menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara. Khususnya Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama dan ras, menanamkan nasionalisme Indonesia yang tinggi bagi setiap warga negaranya, merupakan hal yang sangat fundamental.
Jika kita merujuk ke perjalanan sejarah Indonesia, sang proklamator Soekarno sangat perduli dan sangat menjunjung tinggi nasionalisme Indonesia. Beliau melarang dan menentang penggunaan semua atribut yang berbau kolonial Belanda. Apa sisi baiknya? Pada saat itu, rasa persatuan di kalangan rakyat sangat tinggi, semangat dan rasa kecintaan terhadap negara sangat berkobar-kobar. Rakyat Indonesia sangat terkesima dengan sosok idola sang proklamator, yang dengan antusias mereka nantikan kehadirannya berpidato dalam berbagai acara kenegaraan, di depan seluruh rakyat Indonesia, baik dengan menghadiri dan melihat langsung ataupun mendengarkan pidato sang proklamator melalui radio. Rakyat seolah tersihir untuk membela, mempertahankan dan mencintai kedaulatan negara. Soekarno adalah pemimpin yang berkharisma yang pernah dimiliki bangsa ini. Sampai saat ini, rasanya bangsa Indonesia belum menemukan sosok pengganti beliau, dalam menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan ketahanan nasional. Rakyat telah mengalami krisis kepercayaan rakyat terhadap kinerja pemerintah, karena setelah lebih dari enam dekade Indonesia merdeka, rakyat hanya menerima janji-janji manis pemerintah yang sarat dengan tindak korupsi berjamaah yang telah menghancurkan eksistensi sebagai warga negara yang bertanggung jawab terhadap keutuhan dan marwah negara Indonesia.
Namun dibalik sisi baik nasionalisme yang dibangun Soekarno, ada satu sisi yang perlu dipertanyakan terhadap pelarangan yang dilakukan Soekarno terhadap seluruh atribut Belanda yang telah menjajah Indonesia selama 365 tahun. Seandainya Soekarno berkenan memberikan sedikit ruang untuk penggunaan bahasa Belanda di kalangan rakyat Indonesia, mungkin banyak rakyat Indonesia yang mampu berbahasa Belanda (sebagai bahasa kedua) setelah Bahasa Indonesia. Betapapun, kemampuan berbahasa adalah aset berharga bagi setiap warga negara. Kenyataannya adalah, bahwa fasih berbahasa Belanda hanya tinggal sisa dan puing-puingnya saja, yang saat ini hanya dapat ditemukan di kalangan generasi kakek-nenek saja. Generasi berikutnya, sama sekali tidak dapat berbahasa Belanda. Saya belum lahir saat itu, dan saya tidak ingin menyalahkan Soekarno. Namun saya hanya ingin tahu kenapa dan apa alasannya. Saya bukan pemikir yang handal untuk mencari jalan keluar dari suatu masalah, tetapi saya hanya ingin menilik dan sedang belajar menganalisis suatu fenomena.
Saya mengambil contoh Malaysia dan Singapura, yang merupakan negara jajahan Inggeris, menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa ibundanya dan menggunakan bahasa Inggeris sebagai bahasa kedua. Saya akui, banyak rakyat Malaysia yang dapat menggunakan/bertutur bahasa Melayu dengan baik, tetapi banyak juga yang terbata-bata mencampur bahasa Melayu dengan bahasa Inggeris. Mereka menamakan bahasa ini sebagai “bahasa rojak”. Contohnya :
1. - Semalam I called you, tapi you tak answered
2. -I tak faham la, maybe better you tanya Azam
Sementara di Singapura yang lagu kebangsaannya menggunakan judul bahasa Melayu ‘Majulah Singapura’, tetapi hampir seluruh rakyatnya lebih bangga dan fasih menggunakan bahasa Inggeris yang terkenal dengan logat Sing-lish.
Saya melihat kedua negara ini terkesan merasa lebih “moderen” dengan percampuran dua bahasa tersebut. Identitas mereka sebagai rakyat yang menjunjung dan memartabatkan bahasa Melayu perlahan-lahan mengalami erosi dan luntur. Mungkin inilah alasan mengapa Soekarno sangat anti Belanda dan dengan tegas melarang seluruh atribut Belanda diberlakukan di Indonesia. Soekarno mungkin khawatir rakyat Indonesia akan kehilangan identitas dan secara luas menggunakan “bahasa gado-gado”, yang akan menggeser posisi bahasa Indonesia. Dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, bangsa Indonesia mengakui berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia, bahasa yang kita gunakan sebagai bahasa baku dan bahasa pemersatu bagi beragam suku yang ada di Indonesia.
Walaupun mayoritas rakyat Indonesia menggunakan bahasa Indonesia secara baku dalam konteks umum, tetapi bahasa Indonesia juga banyak mengalami tantangan dengan munculnya kata-kata ‘prokem’ yang menjadi ‘trend’ kata ‘baru’ ataupun penggunaan kata-kata non baku yang lebih banyak digunakan oleh generasi muda. Misalnya :
1. -Bokap nyokap lagi pergi ke Jakarta. Lusa balik.
2. -Iya deh, ntar di omongin. Terus abis ini kita pergi kemana?
Selain itu, ‘trend’ menyelipkan sepenggal kata/kalimat dalam bahasa Inggeris juga mulai marak digunakan. Saya suka eneg melihat artis-artis Indonesia ketika di wawancarai di dalam sebuah acara televisi menyelipkan kalimat-kalimat Inggeris untuk mengulang, memperjelas dan terkesan mengartikan. Misalnya :
1. - ...and you know, I really really love do that to my carrer, saya sangat suka melakukan hal tersebut untuk karir saya. Because, its very impressed me, itu sangat membuat saya terkesan
Saya bukan menentang modernisasi yang merupakan proses yang punya banyak segi. Modernisasi melibatkan perubahan di berbagai kerangka pemikiran dan aktivitas manusia. Setiap orang, bangsa maupun negara, pasti menginginkan sebuah perubahan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Namun kita harus tetap bisa menyesuaikan, menyaring dan ingat dari mana asal muasal kita. Budaya kita sangat berbeda dengan budaya barat, dan modernisasi jangan ditafsirkan sebagai adopsi semua yang berbau barat (‘westernisasi’). Hal ini perlu dicermati, karena di berbagai tatanan kehidupan rakyat Indonesia ‘westernisasi’ dianggap sebagai cara hidup yang moderen, dan masalah ini tidak dapat dengan mudah dihilangkan.
Pengaruh imperalisme akhir-akhirnya memang semakin marak. Saya melihat generasi muda Jepang dan Korea perlahan-lahan mulai kehilangan identitas mereka. Seperti kita ketahui, Jepang dan Korea salah satu negara maju yang mempunyai kebudayaan dan sejarah yang unik. Dua negara ini sangat memartabatkan bahasa ibunda mereka dan menetang penggalakkan bahasa Inggeris. Dua negara ini juga menjunjung hasil produk teknologi lokal mereka (misalnya mobil dan elektronik). Rakyat Korea bangga menggunakan produk lokal (misalnya Samsung) yang selalu ditantang kehadirannya oleh produk barat (misalnya Apple, Blackberry). Namun sayang, dua negara ini seolah kehilangan identitas kerana imperalisme budaya. Rambut hitam yang dianugerahkan Tuhan, di cat warna-warni. Kulit putih bersih, digelapkan. Mata cokelat/hitam diganti dengan menggunakan lensa kotak berwarna-warni. Gaya berbusana pun telah berubah dan berkiblat ke barat. Saya khawatir generasi Indonesia akan semakin banyak terjangkit ‘penyakit menular’ ini.
Saat ini, perjalanan berbangsa dan bernegara di kalangan rakyat Indonesia mengalami banyak tantangan yang berat dan mengkawatirkan. Apakah nasionalisme dalam menjunjung satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa di masa sekarang maupun yang akan datang akan tetap bersinar terang atau malah erosi kemudian tenggelam?
-Ilma Saakinah Tamsil-