Tanggal 26 Juli 2019, sekitar jam 9 pagi saya mendapat WA dari bagian kepegawaian kampus untuk melengkapi berkas salah satunya adalah mengurus surat kesehatan jasmani, rohani serta bebas narkoba di rumah sakit pemerintah. Mmmm.......... kebetulan saya mempunyai kenalan di RSU Pirngadi, namanya bu Taing, seorang perawat senior yang cukup terkenal dan disegani. Saya janjian dengan beliau untuk bertemu di hari Senin, dengan maksud untuk mempermudah urusan saya. Biar kalau petugasnya galak atau tidak ramah, paling tidak bisa segan karena saya menggandeng Bu Taing hahaha.
Senin tanggal 30 Juli 2019, jam 8.10 saya sudah sampai di RSU Pirngadi dengan harapan biar dapat parkir. U know kan Pirngadi gimana. Alhamdulillah, masih dapat tempat parkir. Setelah membayar parkir Rp 5000, ternyata pagi ini para pegawai RSU sedang melaksanakan upacara bendera. Jadi saya menunggu Bu Taing dulu. Setelah bertemu bu Taing, kami bertemu petugas dan menanyai langkah-langkah apa yang harus kami lakukan. Here we go!
Langkah pertama yang dilakukan adalah mendaftar mau MCU (medical check up). Di ruangan ini, sudah ramai sekali orang. Dalam hati saya, dari jam berapa lah mereka di sini? Waktu itu saya melihat jam 8.40. Dengan kekebalan diplomatik Bu Taing, saya tidak perlu mengambil nomor antrian. Bu Taing menyodorkan KTP saya kepada petugas untuk di cek. Kebetulan saya pernah mendaftar di RSU Pirngadi, jadi tidak perlu mengambil waktu lama untuk mencari data saya yang lama. Setelah itu dapat slip bukti bayar warna putih dan pink. Biayanya Rp 15.000. Buat kalian yang tidak punya Bu Taing, sepertinya harus sabar ngantri ya guys.
Langkah kedua kami kembali ke petugas yang akan mengurus surat-surat ini. Kita sebut saja nama beliau Petugas S. Petugas S meminta foto kopi KTP saya dan pas foto 3x4 = 3 lembar, kemudian menyuruh saya mengisi form dan memastikan nama saya tidak salah.
Langkah ketiga saya dan bu Taing ke lantai 3 untuk memeriksa air pipis (bebas narkoba). Biaya untuk lab bebas narkoba adalah Rp160.000. Saya pipis di WC yang kondisinya jelek banget :( Kemudian saya serahkan botol kecil berisi air pipis tadi ke petugas lab.
Langkah keempat, kami turun ke bawah memberikan slip bukti pembayaran bebas narkoba ke petugas S. Kemudian saya di suruh mengisi 175 pertanyaan untuk surat sehat rohani sambil menunggu hasil lab narkoba sekitar 15 menit. 170 soal berisi pertanyaan dengan indikator. Soalnya lucu-lucu deh. Pokoknya soal kejiwaan kita. Ketika saya mengisi ini, saya teringat pengalaman teman-teman saya bahkan ada teman saya seorang Psikolog memberikan klu dalam menjawab soal seperti ini kita tidak perlu terlalu PD dan berambisi. 5 soal lagi adalah soal essay, ada juga disuruh menggambar.
Setelah selesai mengisi 175 pertanyaan dan mengembalikannya kepada petugas S, langkah kelima, saya disuruh naik ke lantai 4 untuk diperiksa berat badan, tinggi badan, dan tensi darah, kemudian ke kasir membayar Rp 30.000. Tak lama kelar deh surat keterangan jasmani yang menerangkan kondisi kesehatan saya. Di surat ini, kita sendiri yang menulis nama kita.
Langkah ke enam, saya dan bu Taing turun satu lantai ke lantai 3, untuk mengambil hasil lab bebas narkoba. Setelah mengambil hasil lab bebas narkoba, kami kembali turun dan menyerahkan ke petugas S.
Langkah ketujuh adalah menunggu antrian wawancara dan tanya jawab dengan Psikater tentang soal 175 yang kita isi tadi. Antrian ini bercampur dengan pasien umum, jadi agak lama ya guys. Sebelum saya, ada seorang perempuan lebih dulu masuk. Namun ketika dia keluar dari ruangan Psikater, dokter yang memeriksanya menyatakan dia tidak lulus karena dari 175 pertanyaan yang diisi tadi, ada 10 pertanyaan yang dia tidak bisa menjelaskan dan dokter Psikiatri mengatakan dia sangat berambisi. Wuiiiiiiiiiiii. Ketika giliran saya, saya berusaha untuk selo, santuy dan tidak gugup. Psikiaternya memang kurang ramah. Mungkin memang harus gitu kali yaaa, namanya juga tes. Ada beberapa pertanyaan yang dia tanyakan kepada saya untuk dijelaskan. Saya menjelaskan dengan selo dan tiba-tiba ada perkataan yang saya sebut dengan istilah english. Psikaternya memandangi dan akhirnya diam. Dalam hati saya, waduuuh gawat..!! Bolak balik ke halaman berikutnya, kemudian dia men-check list. Untungnya dia tidak bertanya soal gambar yang saya gambar. Saya menggambar vas bunga lengkap dengan bunganya. Tapi seandainya psikaternya bertanya, saya sudah menyiapkan alasannya kenapa hahaha. Ok done! Saya keluar dan menunggu hasilnya. Tak lama nama saya dipanggil petugas S dan saya mendapatkan 2 surat sehat rohani serta bebas narkoba. Yeyyy berarti tes rohaninya lulus :) Di surat itu, tak lupa cap jari terlebih dahulu kemudian membayar hasilnya sebesar Rp 100.000 (@surat Rp50.000). Kelar deh semuanya urusan saya hari ini. Saya lirik jam, 10.30 WIB. Berarti saya memerlukan waktu kurang lebih 2 jam dalam mengurus ketiga surat ini dengan total biaya Rp 295.000.
FYI, dalam mengurus surat-surat ini akan sedikit ribet karena harus jalan, naik dan turun lift ya guys, karena urusan begini tidak berada di 1 gedung yang sama. Jadi kalau bisa, gunakan sepatu yang nyaman. Semoga pengalaman ini dapat membantu teman-teman yang ingin mengurus surat kesehatan jasmani rohani dan bebas narkoba :)
Selasa, 10 September 2019
Senin, 26 Agustus 2019
Wajah Dunia Pendidikan Kita
Wajah Dunia Pendidikan Kita
Pendidikan yang
berkualitas, terjangkau
dan adil merupakan dambaan dan harapan seluruh masyarakat dunia. Walaupun
pendidikan merupakan masalah semua negara, namun akan selalu menjadi dinamika
kehidupan, karena pendidikan
merupakan kebutuhan setiap umat manusia sesuai dengan tujuan pendidikan untuk semua. Saat ini, masalah pendidikan telah menjadi isu
kontroversi di dunia, terutama dengan munculnya kapitalisme global. Pendidikan
di Indonesia (khususnya di daerah pinggiran dan pedalaman), selalu menghadapi berbagai masalah diskriminasi
dalam pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah-daerah ini tidak mempunyai
sarana pendukung yang sepatutnya, terutama untuk memenuhi keperluan dasar yaitu pangan,
sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, transportasi
dan
sarana komunikasi lainnya. Hambatan ini menyebabkan daerah pedalaman semakin tertinggal
jauh sehingga memberikan dampak
negatif
bagi dunia pendidikan Indonesia.
Dunia pendidikan Indonesia
pernah berjaya pada puluhan tahun silam. Di era pemerintahan Sukarno, Indonesia
dikenal sebagai negara yang memiliki banyak tenaga pengajar lulusan perguruan
tinggi bila dibandingkan dengan guru di negara tetangga. Kondisi ini menarik
perhatian Kerajaan Malaysia setelah merdeka tahun 1957 yang menginginkan
perbaikan pendidikan di dalam negeri. Pemerintah Orde Baru juga mengirimkan
tenaga guru terdidik ke Malaysia sebagai bagian langkah normalisasi hubungan
Indonesia-Malaysia pada 1966 untuk mengajar ilmu pengetahuan dan
sastra. Hal ini berasal dari permintaan langsung
Kerajaan Malaysia sebagai tindak lanjut terbentuknya kembali lembaga
persahabatan kedua negara. Namun bagaimana dunia pendidikan kita sekarang?
Sejak dahulu sampai
sekarang, pemerintah Indonesia selalu mengabaikan sektor pendidikan karena terlalu
memberi prioritas pada sektor
ekonomi, politik, hukum dan keamanan saaja. Akibatnya secara berangsur-angsur
proses pencerdasan kehidupan bangsa menjadi menurun. Hal ini tercermin dari alokasi pendidikan Indonesia
yang jumlahnya sangat kecil jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang
lainnya. Bantuan dana pendidikan yang diberikan pemerintah tidak dipergunakan
dengan baik justru banyak disalahgunakan karena maraknya praktek KKN
(Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) di dalam kalangan birokrat Indonesia. Kenyataan
ini semakin memperjelas bahwa tidak ada keseriusan dan komitmen birokrat Indonesia untuk mencerdaskan anak bangsa. Birokrat Indonesia lebih cenderung menjadikan pendidikan dan kemiskinan
sebagai komoditas politik
dan modal pinjaman luar negeri. Hutang luar negeri hanya dinikmati oleh penguasa sehingga semakin
memperburuk keadaan, dan masyarakat bertambah miskin dan bodoh. Akibatnya
kualitas pendidikan di
Indonesia sangat tertinggal jauh. Seringnya pergantian
kurikulum, buku pelajaran yang kurang di update, peraturan tentang ujian yang
selalu berganti-ganti nama dan berbeda-beda aturan, orientasi pendidikan hanya
pada nilai bukan kepada bakat yang membuat pendidikan Indonesia kacau.
Badan Program Pembangunan
di bawah PBB (United Nations Development Programme/UNDP) dalam
laporan Human Development Report 2016 mencatat, Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) Indonesia pada 2015 berada di peringkat 113, turun dari posisi
110 di 2014. UNDP menilai pemerintahan Presiden Jokowi masih harus bekerja keras menyelesaikan
kesenjangan yang menjadi salah satu faktor berpengaruh terhadap IPM. Langkah pengurangan
kesenjangan ini sudah ada di program Nawacita Jokowi namun jurang kesenjangan
belum benar-benar menyempit. UNDP mencatat, IPM Indonesia 2015 sebesar 0,689
dan berada di tingkat 113 dari 188 negara di dunia. IPM ini meningkat sekitar
30,5 persen dalam 25 tahun terakhir. Di saat yang bersamaan, UNDP melihat ada
sejumlah indikator kesenjangan yang bertolak belakang dengan peningkatan IPM
tersebut.
Pertama, tingkat kemiskinan dan kelaparan. Terdapat sekitar 140 juta orang Indonesia yang hidup dengan biaya kurang dari Rp20 ribu per hari dan 19,4 juta orang menderita gizi buruk. Kedua, tingkat kesehatan dan kematian, tercatat sebanyak dua juta anak di bawah usia satu tahun belum menerima imunisasi lengkap. Kemudian, angka kematian ibu sebanyak 305 kematian per 100 ribu kelahiran hidup. Ketiga, akses ke layanan dasar. UNDP melihat bahwa hampir lima juta anak tidak bersekolah dan anak-anak di Papua memiliki tingkat dikeluarkan dari sekolah yang tinggi. Ketertinggalan ini multi dinamis, misalnya dari sisi gender, perempuan akses ke sekolahnya minim, informasinya minim, risikonya semakin besar, dan ini cenderung diteruskan ke generasi selanjutnya.
Pertama, tingkat kemiskinan dan kelaparan. Terdapat sekitar 140 juta orang Indonesia yang hidup dengan biaya kurang dari Rp20 ribu per hari dan 19,4 juta orang menderita gizi buruk. Kedua, tingkat kesehatan dan kematian, tercatat sebanyak dua juta anak di bawah usia satu tahun belum menerima imunisasi lengkap. Kemudian, angka kematian ibu sebanyak 305 kematian per 100 ribu kelahiran hidup. Ketiga, akses ke layanan dasar. UNDP melihat bahwa hampir lima juta anak tidak bersekolah dan anak-anak di Papua memiliki tingkat dikeluarkan dari sekolah yang tinggi. Ketertinggalan ini multi dinamis, misalnya dari sisi gender, perempuan akses ke sekolahnya minim, informasinya minim, risikonya semakin besar, dan ini cenderung diteruskan ke generasi selanjutnya.
Persoalan pendidikan menjadi kepentingan semua
rakyat, dan negara
bertanggung jawab mewujudkan pendidikan nasional yang gratis, demokratis dan mempunyai visi kepada rakyat. Seharusnya dunia pendidikan tidak tergelincir ke dalam dunia kapitalis atau
dikomersilkan dengan biaya yag mahal sehingga rakyat yang sebagian besar masih hidup di bawah garis kemiskinan tidak mampu memperoleh
pendidikan. Sekolah yang berasaskan kapitalis adalah sekolah dengan biaya yang
mahal dan tentu saja tertutup masyarakatnya yang nasibnya kurang beruntung. Keadaan ini semakin
memperjelas bahwa negara tidak berpihak kepada rakyatnya yang terpinggirkan karena membedakan status
ekonomi. John Dewey dalam Democracy and
Education mengatakan negara yang demokratis harus menyediakan kesempatan
pendidikan dan kualitas
pendidikan yang sama bagi seluruh warganya untuk membebaskan bangsa dari
kebodohan, kemiskinan dan perbudakan. Pendidikan yang dipercayai memegang
peranan penting sebagai sarana mobiliti vertikal bagi masyarakat untuk
memperbaiki kedudukan sosialnya, malah dihalangi dengan kebijakan pemerintah
yang mengarahkan pendidikan ke penswastaan dan komersialisasi, akibatnya banyak masyarakat miskin tidak mampu menikmati pendidikan yang berkualitas. Sungguh fenomena yang tidak mencerminkan
sebuah negara merdeka, karena negara yang merdeka memberikan
pendidikan sebagai hak warga negaranya. Maka dari sini dapat dilihat
bahwa hak-hak konstitusional masyarakat yang dijamin di dalam UUD 1945, serta
peraturan hukum lainnya yang menjamin pemenuhan hak-hak asasi masyarakat seperti
menikmati pendidikan dan hidup sejahtera, telah diabaikan penguasa dan wakil
rakyat di Indonesia. Masyarakat justru merasakan kebijakan-kebijakan yang
semakin tidak berpihak karena masih dihimpit kesukaran ekonomi.
Paulo Freire yang menumpukan kepada kaum tertindas
yakin bahwa manusia secara fitrahnya mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya. Dengan demikian, tugas utama pendidikan adalah
mengantarkan siswanya menjadi subjek. Pendidikan
diperluas peranannya dalam menciptakan kehidupan publik yang lebih demokratis.
Menurut Freire, ‘reading a world cannot
be separated from reading the world and speaking a word must be
related to transforming reality’. Di dalam konteks pendidikan Indonesia dapat dilihat bagaimana komitmen terhadap kaum marginal? Melalui perspektif Freirean, timbul
pertanyaan, kepada siapa pendidikan saat ini berpihak? Apakah negara telah
sungguh-sungguh mengamalkan pasal 34 UUD 1945? Namun mengapa ada jurang yang
sangat lebar di dalam pendidikan? Kebijakan
pendidikan yang itu-itu saja dan tidak berkualitas,
seolah-olah disengaja oleh para elit yang berkuasa di Indonesia. Para elit sepertinya
takut apabila warga negaranya cerdas dapat mengancam posisi mereka. Money politics dengan berbagai varian juga akan ditolak oleh warga negara yang terdidik.
Berdasarkan teori pendidikan yang membebaskan, pendidikan merupakan sarana
manusia memperoleh pengetahuan agar terbebas daripada segala macam bentuk
kebodohan dan memiliki kehidupan yang berperikemanusiaan. Namun nyatanya,
pendidikan Indonesia telah menjadi alat penindasan daripada kekuasaan yang
tetap membiarkan rakyatnya dalam keterbelakangan sehingga terus menderita dan
ditindas akibat ulah kaum elit yang mempertahankan status quo dengan
menciptakan jurang. Keadaan ini menurut Henry Peter Brougham “education makes people easy to lead, but
difficult to drive; easy to govern, but impossible to enslave”. Keadaan ini
juga dituliskan Samuel Bowles dan
Herbert Gintis dalam tesis Schooling in
Capitalist America (1976) bahwa sekolah hanya sebagai alat untuk melayani
masyarakat dominan untuk mempertahankan dan mereproduksi status quo. Kaum
marginal yang kurang mendapatkan perhatian serius dalam hal pendidikan salah
satunya adalah anak-anak jalanan. Secara kuantitas, kelompok ini paling banyak ditemui di kota-kota
besar. Kaum marginal harus
diyakinkan bahwa mereka mempunyai hak dan mampu menentukan nasib sendiri, hak
memperolehi keadilan serta
hak melawan segala bentuk diskriminasi. Namun di dalam RUU Sisdiknas, kelompok
ini jarang sekali disinggung.
Pendidikan bagi negara-negara korban kolonialisme bertujuan untuk mendorong
tumbuhnya kemandirian suatu bangsa di dalam konteks ekonomi, budaya, teknologi
dan pengetahuan. Pendidikan juga dijadikan mobilisasi sosial bagi kaum miskin
yang terpinggirkan. Oleh kerana itu, pendidikan mempunyai peranan penting dan
menjadi salah satu kewajiban negara untuk memenuhinya. Telah diyakini bahwa
salah satu akar permasalahan pendidikan di Indonesia dikarenakan sumber daya manusia Indonesia masih lemah untuk mendukung perkembangan
industri dan ekonomi, serta kurang seriusnya pemerintah menempatkan sektor pendidikan
sebagai priotitas. Selain
dalam hal lemahnya manajemen
pengelolaan, misi pemerintahan
saat ini adalah menuju Indonesia yang maju secara SDM, namun alokasi pendidikan masih sebesar 20% dari APBN dan APBD karena memberi prioritas
untuk perbaikan jalan, pembangunan jalan tol, perbaikan sistem saluran air dan lain-lain. Anita Lie dalam Pendidikan
dalam Dinamika Globalisasi mengatakan bahwa untuk memajukan pendidikan, diperlukan suatu komitmen dan kemauan yang
kuat dari sebuah kepemimpinan. Pernyataan ini didukung pula oleh Walter W McMahon dan Terry G. Keske ahli
teori human capital bahwa nilai penting pendidikan sebuah bangsa
adalah pelaburan sumber daya manusia yang akan memberikan manfaat moneter maupun
non-moneter bagi bangsanya.
Fenomena seperti ini timbul kerana adanya formula Washington concensus yang sangat dipatuhi elit pemerintah di Indonesia. Penswastaan, pergantian/penghapusan
peraturan, dan pengurangan dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya. Akibatnya, untuk memenuhi keperluan sosial (terutama
pendidikan) malah dikesampingkan dibanding alokasi untuk pertumbuhan ekonomi. Hutang-hutang negara
harus ditanggung rakyat sebagai resiko dari pembayaran pajak
hutang haram warisan rezim orde baru. Untuk mengatasi dan melakukan langkah progresif membebaskan rakyat dari
beban hutang luar negeri,
pemerintah (reformasi) menyempurnakan
pencantuman pendidikan dengan kepentingan kapitalisme global seperti yang
diinginkan WTO, organisasi perdagangan dunia yang mencantumkan sistem
perdagangan dengan kapitalisme global. Menurut WTO, pendidikan dikategorikan
kepada jasa yang dapat diperdagangkan atau disebut GATS (General Agreement on
Trade in Services) yang artinya pendidikan harus diliberalkan agar modal swasta
dapat masuk dan menanamkan investasi di dalam dunia pendidikan. Namun dampak yang dirasakan yaitu menurunnya kepentingan pendidikan yang hanya
dimaknai sebagai mekanisme urusan jasa semata, dan tanpa adanya perlindungan
dari negara, maka budaya bangsa sebagai elemen terpenting di dalam sistem
pendidikan akan hancur di tengah dominasi budaya global. Masuknya investasi
di dalam dunia pendidikan
justru semakin melebarkan jurang
antara si kaya dan si miskin.
Beban kurikulum yang terlampau banyak, bukan
membuat siswa semakin pintar namun menjadi kewalahan mengejar nilai dan IP. Berbeda
di luar negeri yang beban kurikulumnya lebih sedikit karena memprioritaskan
kepada bakat dan minat siswa. Berapa % mata pelajaran/mata kuliah yang kita
terapkan dalam kehidupan? Apakah rasanya seperti hanya buang-buang waktu saja? Yang perlu diperbaiki adalah mulai membangun
pendidikan sejak dini dan membangun sistem pendidikan dasar yang tepat. Namun
seiring dengan tantangan globalisasi, kurikulum dan metode belajar di TK
mengalami banyak perubahan dan tuntutan. Saat ini anak-anak di TK sudah cenderung diajari materi baca, tulis, dan
hitung (calistung). Tujuannya supaya lolos seleksi masuk SD. Ini lah yang
menjadi salah kaprah karena TK bukan persiapan untuk masuk SD. Ketika nanti
jenjang TK menjadi bagian dari program wajib belajar, materi calistung di TK seharusnya
direduksi bahkan dihapus karena di TK porsi bermain untuk anak-anak lah yang
seharusnya lebih diperbanyak, sebab di dalam jenjang TK sendiri ada konten
pembelajaran yang harus ditanamkan seperti penanaman karakter jujur, mandiri,
gotong royong, dll. Walaupun TK menjadi bagian dari wajib belajar, namun
seluruh guru juga harus mematuhi bahwa konten bermain sambil belajar harus
diperkuat. Kondisi yang terjadi di TK pada umumnya saat ini adalah anak-anak
diajar belajar sambil bermain.
Di tingkat Sekolah
Dasar dan menengah pula, kurikulum juga dinilai terlalu berat dan beban yang
melelahkan bagi anak didik. Mulai dari pelajaran yang dinilai sulit bagi siswa hingga
bawaan tas yang berat dengan buku-buku. Selama ini
kurikulum pendidikan kita ibarat kurikulum bergaya ‘bank’ (banking concept of
eduction) seperti yang dikatakan Paulo Freire. Anak didik dianggap
sebagai obyek investasi dan sumber deposito potensial. Guru sebagai depositor/investor
yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan. Ilmu pengetahuan yang diajarkan
ke anak didik adalah depositonya. Lantas anak didik pun diperlakukan sebagai
sebuah ‘bejana kosong’ yang siap diisi sebagai sarana tabungan atau penanaman
‘modal ilmu pengetahuan’. Materi pelajaran di buku-buku yang tebal hanya
menghilangkan kesempatan anak untuk bersantai dan bermain sepuasnya selayaknya
usia mereka rata-rata 6-7 tahun. Pelajaran yang diterima cukup mengangetkan terutama
di masa peralihan dari TK ke SD kelas 1. Maka tidak heran banyak orang tua memberikan
les kepada anaknya bahkan kelas 1 SD pun karena membayangkan beban berat mereka
kelak saat kelas 6 yang bersiap mengikuti UN. Seharusnya di kelas 1 anak didik
SD tidak diberikan materi yang memberatkan. Banyak guru SD cenderung memperlakukan anak didik kelas 1 SD
seperti anak-anak kelas 3, 4, 5, 6 yang memang sudah lebih matang. Kemudian
secara bertahap kelas 2 SD, materi anak didik ditambah hingga seterusnya. Kelas
1 SD jangan ‘dipaksa’ memahami materi yang banyak, hal ini pastinya ‘mengejutkan’
untuk anak didik.
Sistem
pembelajaran di sekolah-sekolah kita tidak lepas dari faktor kurikulum yang terlalu
padat dan kurang fleksibel karena kebanyakan pendidikan sekolah di negara-negara
berkembang cenderung memiliki kurikulum yang terlalu padat atau overloaded
curriculum dengan maksud menciptakan
kemajuan dan mendongkrak citra dan kualitas pendidikan, maka negara merumuskan
kurikulum seperti ini dengan asumsi akan mendukung negara mencapai keberhasilan
serta mutu sumber daya manusia yang baik. Tetapi yang terjadi justru salah
kaprah. Kurikulum yang overload ini berdampak negatif kepada sistem pendidikan.
Jumlah jam belajar dalam satu minggu di Indonesia sangat terlalu lama dan
membuat peserta didiknya jenuh yaitu mencapai 42-47 bahkan 58 jam. Berbeda
dengan Finlandia yang memiliki jam belajar hanya 30 jam per minggunya.
Buku pelajaran yang
dibawa peserta didik juga terlalu banyak. Ada buku catatan, buku latihan, buku
PR dan buku bahan bacaan yang beratnya bisa mencapai puluhan kilogram. Beraneka
ragamnya jumlah buku ini merupakan salah satu cerminan kurikulum di Indonesia.
Pergantian kurikulum seringkali digunakan dengan alasan untuk mendongkrak citra
dan kualitas pendidikan di Indonesia. Telah tercatat bahwa kurikulum di
Indonesia sudah mengalami 10 kali pergantian yaitu Rentjana Pelajaran Terurai 1957, Rentjana Pendidikan 1964, Kurikulum
1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004 alias
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum 2006 yang dikenal sebagai
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan kini Kurikulum 2013. Perubahan
kurikulum terbukti tidak dapat mendongkrak kualitas pendidikan di Indonesia namun
justru mematikan daya kritis dan kreativitas anak didik. Belum lagi dengan
Ujian Nasional yang dianggap momok. Hasil kerja keras anak didik selama 6 tahun
SD, 3 tahun SMP dan 3 tahun SMU hanya dilihat dalam beberapa hari UN saja karena
pendekatan UN berorientasi pada penetapan angka kelulusan tertinggi, sehingga
kurang memperhatikan proses.
Beban kurikulum yang
terlalu berat, sedikitnya ruang ekpresi dan kreativitas anak menyebabkan
sekolah menjadi seperti ‘penjara’ bagi anak didik. Padahal tujuan pendidikan
nasional adalah mengembangkan potensi anak didik. ‘Penjara’ ini dapat
menyebabkan anak jenuh bahkan stress. Pagi berangkat sekolah membawa ‘koper’
berisi banyak buku, di kelas belajar, pulang sekolah ke tempat bimbingan
belajar atau mengerjakan PR. Belum lagi tuntutan orang tua yang menginginkan anaknya
harus pintar dan beprestasi di sekolah (belajar dan mengurangi main).
Dalam penjurusan
di SMU, anak didik seharusnya diberikan kepercayaan untuk memilih jalan mana
yang akan mereka lalui kedepannya. Jangan terlalu mendikte mereka, berikan saja
ruang gerak bagi mereka maka mereka dapat menentukan pilihan ke jurusan mana,
mau jadi apa ke depannya. Dengan begitu, mereka tidak akan menyesali pilihan
mereka. Hal ini juga harus dilihat dari kemampuan anak didiknya, jangan
terkesan memaksa juga. Selama ini guru yang heboh memilihkan jurusan bahkan tidak
sedikit orang tua sibuk mendatangi sekolah meminta anaknya agar masuk ke jurusan
favorit IPA sebagai kumpulan siswa pintar karena IPS dan Bahasa adalah kumpulan
siswa kelas kedua.
Memang tidak mudah mengevaluasi dunia pendidikan Indonesia. Namun evaluasi bukan merubah sistem pendidikan setiap tahunnya dengan uji coba
namun melihat apa yang bisa terus dikembangkan tanpa mencopot keseluruhan dari
sistem yang telah ada. Semoga pemerintah
Indonesia mampu mewujudkan hal ini.
Langganan:
Postingan (Atom)
Pengalaman Membuat Surat Keterangan Berbadan Sehat Jasmani dan Rohani serta Bebas Narkoba di RSU Pirngadi Medan
Tanggal 26 Juli 2019, sekitar jam 9 pagi saya mendapat WA dari bagian kepegawaian kampus untuk melengkapi berkas salah satunya adalah mengur...
-
Tanggal 26 Juli 2019, sekitar jam 9 pagi saya mendapat WA dari bagian kepegawaian kampus untuk melengkapi berkas salah satunya adalah mengur...
-
Stereotipe Gender (Wanita) dalam Iklan Media Massa Kebanyakan kajian-kajian yang menjadikan wanita sebagai objek pengamatannya, mendapat...