Sabtu, 29 September 2012

Mengapa berobat ke Luar Negeri?


Tulisan ini merupakan hasil pengamatan saya dan menjadi inspirasi untuk menilik suatu isu lama yang masih tetap eksis sampai sekarang, yaitu mengapa orang Indonesia lebih memilih berobat ke luar negeri?
Jawaban paling klasik adalah: berobat di dalam negeri biayanya mahal dan tidak transparan serta mutu pelayanan yang diterima pasien sering sekali sangat mengecewakan. Di negeri ini, kesehatan dan pendidikan yang merupakan keperluan mendasar bagi warganya, sering sekali dikomersilkan dan menuntut biaya mahal. Karena itu, sekolah dan rumah sakit kerap  menjadi ‘musuh’yang sulit diajak kompromi bagi masyarakat menengah ke bawah. Tidak sedikit orang miskin yang harus mengorbankan nyawanya, karena tidak memiliki biaya ataupun uang jaminan. Di sisi lain, pihak rumah sakit selalu berdalih dengan seribu satu alasan, dan terkesan “tidak punya rasa dan tidak punya hati” serta tidak merasa salah dan berdosa.
Jawaban kedua, yaitu pengadaan peralatan medis yang memadai, belum tersedia di seluruh rumah sakit. Bahkan di beberapa rumah sakit swasta yang menampilkan kesan “mewah” dan meminta bayaran mahal, kerap terjadi pembohongan publik, karena ternyata tidak mempunyai peralatan medis yang diperlukan untuk kondisi kritikal dan mengancam jiwa, sehingga pasien yang datang berobat ke rumah sakit ini, sering sekali tidak mendapatkan rawatan maksimal dan akhirnya diikuti dengan kematian atau kecacatan yang sangat tidak sebanding dengan biaya perawatan yang dikeluarkannya.
Jawaban ketiga adalah karena buruk dan tidak sistematisnya sistem pelayanan yang diberikan oleh semua jajaran rumah sakit ataupun sarana pelayanan kesehatan lainnya, baik dari sisi medis maupun non-medis. Kondisi ini membuat masyarakat pengguna jasa pelayanan medis mengalami kecewa berat dan berusaha mencari alternatif lain. Pelayanan administrasi yang ada pada kebanyakan rumah sakit dan sistem pelayanan kesehatan lain di negeri ini, sering sekali menampilkan kondisi birokrasi yang sangat ruwet dan tampak tidak punya niat untuk memudahkan dan memberikan pelayanan yang lebih baik. Komunikasi efektif di antara pasien dan keluarganya dengan pihak administrasi, perawat, dokter dan unsur-unsur penunjang pelayanan medis lainnya, tidak terwujud. Tidak heran kalau hal ini   secara langsung maupun tidak langsung, akan membentuk sikap krisis kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pihak rumah sakit dan sistem pelayanan kesehatan lainnya.
 Menurut asumsi saya, hal mendasar yang menjadi sumber kebobrokan ini adalah unsur sumber daya manusianya. Untuk mengantisipasi kondisi  negatif ini, perlu diupayakan pembinaan dan peningkatan sistem pelayanan, baik dari sisi pelayanan medis, peralatan medis yang memadai dan sistematika pelayanan administrasi, yang kesemuanya dikendalikan oleh sumber daya manusianya (SDM). Kemampuan SDM harus mendapat prioritas perhatian, dan harus dibina secara sungguh-sungguh. Sebenarnya banyak dokter di dalam negeri yang berperilaku baik dan kompeten di bidangnya masing-masing. Namun masyarakat terlanjur menstreotipekan mereka sebaliknya. Banyak pandangan negatif masyarakat terhadap para dokter yang terbentuk oleh ulah beberapa gelintir dari mereka, Terkadang kondisi ini terasa tidak adil, dan terkesan seperti yang dikiaskan oleh pepatah: “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Namun tatanan moral dan etika yang kian hari makin nyata degradasinya, kadang kala membuat kondisi  yang “tidak layak” menjadi hal yang lumrah. Kondisi ini membuat orang-orang yang masih mempunyai idealisme kian terpinggirkan, sehingga pepatahnya berubah menjadi: “Karena nila sebelanga rusak susu setitik”.  
Untuk menjadi seorang tenaga medis baik dokter ataupun perawat yang handal, hal mendasar yang sangat diperlukan adalah pembentukan watak dan perilaku yang baik, diikuti kemampuam keilmuan dan keterampilan yang memadai, sehingga akan lahir tenaga medis yang kompeten di bidangnya. Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah perlunya membangun kepribadian yang mencintai, menghayati profesi dan tanggung jawab dalam menjalankan profesinya. Namun realita yang ada saat ini, pendidikan dokter tampak agak mengabaikan hal ini. Banyak calon dokter yang tidak benar-benar berminat dan kurang mampu menjalani pendidikan dokter, tetapi beruntung memiliki orang tua yang mampu meskipun harus membayar kelas mandiri yang sangat mahal. Menjalani pendidikan dokter hanya untuk memenuhi keinginan orang tua dan prestise, tanpa adanya penghayatan profesi. Selain itu, masyarakat menilai para calon dokter ini mempunyai imej ‘high class’ yang terkesan kurang mau berbaur dengan sekitar (hanya berbaur dengan sesama golongannya saja). Begitu juga dengan para perawat yang banyak terkesan kurang terampil melaksanakan tugas keperawatannya. Bahkan tidak sedikit perawat yang baru tamat sekolah, belum cukup pelatihan tentang keperawatan tetapi sudah diberi kewenangan menangani pasien. Mungkin faktor-faktor ini harus kita jadikan pembelajaran dan sekaligus tamparan untuk mengatasi ‘bibit awal’ krisis kepercayaan di dalam masyarakat.
Kebanyakan rumah sakit di negeri kita, memberikan pelayanan yang  masih jauh dari semestinya. Padahal negeri ini mempunyai banyak dokter yang tidak kalah hebat, bahkan banyak yang menjadi dokter yang handal di luar negeri. Namun tampaknya mentalitas masyarakat kita, masih sering  menganggap bahwa semua yang luar negeri selalu lebih hebat, dan tidak yakin dengan kemampuan bangsa sendiri. Hal lain yang  juga harus mendapat perhatian adalah, pelayanan kesehatan di luar negeri berlangsung dengan integritas tinggi di antara komponen2 pendukungnya. Kerjasama tim dokternya tampak lebih solid, jauh dari sikap arogan dari masing2 komponennya, dan selalu mengutamakan kepentingan pasien di atas segala-galanya. Kondisi ini sangat mendukung optimalisasi pelayanan kesehatan yang diterima oleh pasien. Satu hal yang sangat mengesankan adalah tarif berbagai pelayanan medis yang mereka berikan mereka dipaparkan secara jelas dan transparan. Dengan demikian,  pasien dapat memprediksi sendiri perkiraan biaya perawatan yang harus dikeluarkannya.  Berbagai hal yang dikemukakan ini sudah banyak diketahui dan dialami oleh masyarakat kita yang yang berobat ke luar negeri dan sering menjadi perbincangan dalam hal membandingkan keterbukaan dan transparansi serta fasilitas pelayanan medis yang mereka terima di luar negeri.
Satu pengalaman pelayanan medis yang saya terima ketika mengalami warts di tapak kaki yang menyebabkan saya susah berjalan. Waktu itu tahun 2002 dan saya sedang kuliah di luar negeri. Keluhan ini sudah saya alami sebelum berangkat sekolah dan saya sudah berobat ke dokter di dalam negeri. Ketika itu saya tidak mendapat penjelasan apapun dari dokter yang merawat saya.  Saya hanya diberi obat dan tidak sembuh2. Akhirnya saya mencoba pergi ke salah satu rumah sakit di sana. Begitu masuk ruangan, dokter yang menangangi saya dengan sangat ramah menyambut dan berkomunikasi sangat baik dengan saya, walaupun pada saat itu kami menggunakan bahasa Inggris. Dokternya memberikan penjelasan yang begitu logis dan menyarankan agar kaki saya di laser agar ketuatnya terbuang semua. Laser dilakukan kurang lebih 20 menit dan setelah itu saya diberi obat untuk penghilang rasa sakit. Tiga hari kemudian saya sudah dapat berjalan dan kuliah seperti biasa.
Ternyata untuk mengurangi kecenderungan masyarakat yang dengan mudahnya terbang ke luar negeri, ada salah satu alternatif yang dilakukan pemerintah yaitu dengan membangun rumah sakit bertaraf internasional dengan kondisi bangunan yang bagus, nyaman dan dilengkapi peralatan yang canggih pula. Namun hal ini tidak bisa dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat kita. Hanya golongan-golongan atas saja yang bisa berobat di sana sementara yang dari golongan bawah merasa minder karena takut terbentur dengan permasalahan biaya. Dengan kata lain, solusi ini dianggap belum tepat sepenuhnya. 
Jadi masyarakat menengah ke bawah harus berobat kemana? Untuk mengurangi rasa minder tersebut, sebaiknya sebuah rumah sakit umum meningkatkan mutu layanan medik. Namun ada tiga permasalahan yang karap kali membenturnya dan harus banyak diperbaiki. Yang pertama, pengawasan pemerintah. Yang kedua, peningkatan tentang perilaku dokter. Yang ketiga, menelaah sikap para pengusaha dalam mengelola rumah sakit sekaligus tanggap terhadap masalah-masalah dan mau terjun langsung melakukan sidak melihat keadaan.
Saya coba uraikan satu persatu. Masalah pertama soal pengawasan ketat dari pemerintah. Banyak rumah sakit yang belum sepenuhnya menyentuh pelayanan medik walau sebenarnya hal ini sudah di bawah naungan Departemen Kesehatan RI untuk mengawasi mutu yang tidak hanya fokus pada kelengkapan sarana tetapi harus memperhatikan aspek efisiensi dan ketepatan ketika menangani pasien. Namun apakah ini terealisasi?
Masalah kedua, tentang peningkatan perilaku dokter juga harus diperhatikan. Banyak sikap dokter di Indonesia kurang menempatkan kepentingan pasien sebagai prioritas utama. Dalam hal berkomunikasi ketika menjelaskan kepada pasien atau keluarganya masih sangat lemah, terkesan kaku bahkan kurang ramah, alhasil tercipta gap antara dokter dengan pasien. Coba bandingkan dengan contoh ketika kaki saya hendak di laser. Tidak jarang banyak cerita yang berkembang di belakang soal omongan masyarakat yang berkata “...malas ah, dokter itu, ga ramah”. Selain sikap di atas, sering terjadinya problem intern soal hubungan antar para dokter yang tidak sefaham (berbeda pandangan) akibatnya membuat pasien sering menjadi taruhannya. Hal ini juga menjadi faktor yang menggoyangkan mutu layanan untuk masyarakat kita berobat di dalam negeri.

Masalah terakhir yaitu sikap pengusaha rumah sakit jangan terlalu cenderung kepada pengembalian modal dan keuntungan semata. Sehingga mereka sering mengabaikan masalah-masalah kecil atau besar yang seharusnya menjadi perhatian khusus. Masalah kecil yang dapat saya sebutkan yaitu soal sistem. Hal yang paling dasar yaitu kebersihan ruangan rawat (sprei, selimut, gorden yang kurang bersih), kamar mandi yang aduhai, kelengkapan di ruangan yang masih minim (pispot yang tidak tersedia di semua ruangan rawat), persediaan infus yang masih manual, tata letak dalam ruangan yang kurang apik seperti keberadaan wayer berseliwiran, rembesan AC yang membuat dinding menjadi kotor, semen tegel dinding tidak rapi, keberadaan ruang tunggu untuk keluarga pasien ibarat naik kapal laut kelas 3 ditambah lagi dengan sikap masyarakat kita yang terkesan cuek dan tidak turut menjaga kebersihan. Selain itu ketertiban untuk menaati melepas alas kaki, menggunakan baju khusus, memakai masker, mencuci tangan ketika memasuki ruangan ICU juga masih sering dilanggar. Bahkan dokter sekalipun. Yang tidak kalah serunya adalah tentang keberadaan kucing-kucing liar yang berlalu lalang, membuang air sembarangan di areal ruang rawat pasien dan menjilati sisa makanan di piring pasien yang terletak sembarangan. Bukankah rumah sakit seharusnya identik dengan ke-sterilan? Namun kenapa pengusaha rumah sakit sepertinya tidak tanggap dan kewalahan mengatasi hal kecil ini?
Lemahnya ekonomi rakyat dan lemahnya kepercayaan terhadap pelayanan yang diberikan pemerintah serta permasalahan biaya dan prosedur yang bertele-tele akhirnya membuat masyarakat seperti berbelok arah. Akhir-akhir ini pengobatan tradisional, pengobatan alternatif bahkan pengobatan ala suku bangsa mulai marak dipilih oleh masyarakat. Keberhasilan pengobatan ini disampaikan melalui iklan-iklan yang ditayangkan untuk meyakinkan masyarakat beralih pengobatan yang lebih alamiah dah terbukti ampuh. Apakah ini salah satu strategi untuk mengurangi intensitas masyarakat kita berobat ke luar negeri? Atau sebagai strategi untuk mengalihkan pengobatan dalam negeri yang serba kacau?
Lantas apakah solusi terbaik? Apakah sudah saatnya kita tegas mengganti sistem lama dan beralih kepada sistem baru? Sepertinya masalah di rumah sakit hanya segelintir dari masalah kompleks yang dimiliki negeri ini. Sebuah masalah berujung menjadi sebuah kendala besar yang selalu terbentur oleh sistem yang telah berakar lama dan membudaya (enggan melihat ke luar), alhasil sulit sekali rasanya mengajak apalagi mengganti kepada sebuah perubahan. Coba tanya kenapa? Andai saja pemerintah mau mengupayakan bagaimana meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui pemberian solusi perkenomian yang baik, pasti tingkat biaya kesehatan tidak akan mahal.

The X-Files "searching for the Truth and destroy the Lies"


The X-Files adalah sebuah genk 3 orang agen khusus yaitu Ilma Tamsil, HArdiansyah Buddy Sr dan Frian S Siregar yang sering menyelidiki berbagai kasus yang tidak terselesaikan. Awalnya sih iseng-iseng aja, karena kebiasaan ketiga agen ini selalu janjian buat ngopi bareng. Tapi bukan gampang yang namanya buat janji. Ketiga agen ini adalah manusia super busy. Timing selalu bentrok dengan jadwal masing-masing. Tapi kalau sudah bertemu, senangnya bukan kepalang. Tak ada yang bisa memisahkan mereka waktu pun tak akan tega, mereka bertiga bersama selamanya. Pembahasan yang terjadi sangat beragam. Mulai dari curhatan pribadi, penentuan cinta sejati, menguak tabir orang-orang yang selalu bikin masalah, harapan perubahan masa depan negara/pemerintah hingga masalah keagamaan. 

Ilma Tamsil adalah tokoh yang selalu mempunyai insting jarang meleset mulai dari mencari kebenaran, merasakan keganjilan dan kebohongan, menciptakan primbon cabut kuliah atau cabut latian paduan suara yang sangat sulit di elakkan oleh Frian S Siregar dan HArdiansyah Buddy Sr. Karena insting yang jarang meleset ini, akhirnya menggerakkan HArdiansyah Buddy Sr untuk mewujudkan semua kebenaran itu dengan kepiawaiannya yang tekun dan sabar karena prinsip HArdiansyah Buddy Sr adalah jangan tanggung-tanggung. Sedangnya Frian S Siregar adalah agen yang paling santai karena kerjaanya meribak ribak, membawa suasana menjadi semakin panas alias nge-gas tetap maju melawan ketidakbenaran tersebut. 




The X-Files mempercayai keberadaan kadal leging bercorak yang dibeli di petisah 'apa carik kak?', lekong si manusia misterius, duo dewa dan dayang-dayang penganggu. Ini lah yang masih menjadi tugas utama mereka bertiga saat ini.

Seiring waktu berjalan, mereka bertiga semakin mempunyai hubungan persahabatan yang erat. Mulai share cerita masalah yang dihadapi, saling kasi masukan dan support, bercerita soal sesosok spesies yang ga ada matinya hingga masak spageti, makan tomyam dan bontotin kue raya. 

Banyak fakta yang dapat dibuktikan secara rasional dan lama kelamaan membuka fikiran mereka untuk mengungkapkan cerita sebenarnya. Hal ini sesuai dengan prinsip "searching for the truth and destroy the lies (X-Files, 2012)". 

Pengalaman Membuat Surat Keterangan Berbadan Sehat Jasmani dan Rohani serta Bebas Narkoba di RSU Pirngadi Medan

Tanggal 26 Juli 2019, sekitar jam 9 pagi saya mendapat WA dari bagian kepegawaian kampus untuk melengkapi berkas salah satunya adalah mengur...