Tulisan ini merupakan
hasil pengamatan saya dan menjadi inspirasi untuk menilik suatu isu lama yang
masih tetap eksis sampai sekarang, yaitu
mengapa orang Indonesia lebih memilih berobat ke luar negeri?
Jawaban paling
klasik adalah: berobat di dalam negeri biayanya mahal dan tidak transparan
serta mutu pelayanan yang diterima pasien sering sekali sangat mengecewakan. Di
negeri ini, kesehatan dan pendidikan yang merupakan keperluan mendasar bagi
warganya, sering sekali dikomersilkan dan menuntut biaya mahal. Karena itu, sekolah dan rumah sakit kerap menjadi ‘musuh’yang sulit diajak kompromi bagi
masyarakat menengah ke bawah. Tidak sedikit orang miskin yang harus mengorbankan
nyawanya, karena tidak memiliki biaya ataupun uang jaminan. Di sisi lain, pihak
rumah sakit selalu berdalih dengan seribu satu alasan, dan terkesan “tidak
punya rasa dan tidak punya hati” serta tidak merasa salah dan berdosa.
Jawaban kedua, yaitu pengadaan peralatan medis yang memadai, belum tersedia di seluruh rumah
sakit. Bahkan di beberapa rumah sakit swasta yang menampilkan kesan “mewah” dan
meminta bayaran mahal, kerap terjadi pembohongan publik, karena ternyata tidak
mempunyai peralatan medis yang diperlukan untuk kondisi kritikal dan mengancam
jiwa, sehingga pasien yang datang berobat ke rumah sakit ini, sering sekali tidak
mendapatkan rawatan maksimal dan akhirnya diikuti dengan kematian atau
kecacatan yang sangat tidak sebanding dengan biaya perawatan yang
dikeluarkannya.
Jawaban ketiga adalah karena buruk dan tidak sistematisnya
sistem pelayanan yang diberikan oleh semua jajaran rumah sakit ataupun sarana
pelayanan kesehatan lainnya, baik dari sisi medis maupun non-medis. Kondisi ini
membuat masyarakat pengguna jasa pelayanan medis mengalami kecewa berat dan
berusaha mencari alternatif lain. Pelayanan administrasi yang ada pada
kebanyakan rumah sakit dan sistem pelayanan kesehatan lain di negeri ini,
sering sekali menampilkan kondisi birokrasi yang sangat ruwet dan tampak tidak
punya niat untuk memudahkan dan memberikan pelayanan yang lebih baik.
Komunikasi efektif di antara pasien dan keluarganya dengan pihak administrasi,
perawat, dokter dan unsur-unsur penunjang pelayanan medis lainnya, tidak
terwujud. Tidak heran kalau hal ini secara langsung maupun tidak langsung, akan
membentuk sikap krisis kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pihak rumah
sakit dan sistem pelayanan kesehatan lainnya.
Menurut asumsi saya,
hal mendasar yang menjadi sumber kebobrokan ini adalah unsur sumber daya
manusianya. Untuk mengantisipasi kondisi
negatif ini, perlu diupayakan pembinaan dan peningkatan sistem
pelayanan, baik dari sisi pelayanan medis, peralatan medis yang memadai dan sistematika
pelayanan administrasi, yang kesemuanya dikendalikan oleh sumber daya
manusianya (SDM). Kemampuan SDM harus mendapat prioritas perhatian, dan harus
dibina secara sungguh-sungguh. Sebenarnya banyak dokter di dalam negeri yang berperilaku
baik dan kompeten di bidangnya masing-masing. Namun masyarakat terlanjur menstreotipekan mereka sebaliknya. Banyak pandangan
negatif masyarakat terhadap para dokter yang terbentuk oleh ulah beberapa
gelintir dari mereka, Terkadang kondisi ini terasa tidak adil, dan terkesan
seperti yang dikiaskan oleh pepatah: “Karena nila setitik, rusak susu
sebelanga”. Namun tatanan moral dan etika yang kian hari makin nyata
degradasinya, kadang kala membuat kondisi yang “tidak layak” menjadi hal yang lumrah.
Kondisi ini membuat orang-orang yang masih mempunyai idealisme kian terpinggirkan,
sehingga pepatahnya berubah menjadi: “Karena nila sebelanga rusak susu
setitik”.
Untuk menjadi seorang tenaga medis baik dokter ataupun
perawat yang handal, hal mendasar yang sangat diperlukan adalah pembentukan
watak dan perilaku yang baik, diikuti kemampuam keilmuan dan keterampilan yang
memadai, sehingga akan lahir tenaga medis yang kompeten di bidangnya. Satu hal
yang tidak boleh dilupakan adalah perlunya membangun kepribadian yang
mencintai, menghayati profesi dan tanggung jawab dalam menjalankan profesinya.
Namun realita yang ada saat ini, pendidikan dokter tampak agak mengabaikan hal
ini. Banyak calon dokter yang tidak benar-benar berminat dan kurang mampu menjalani
pendidikan dokter, tetapi beruntung memiliki orang tua yang mampu meskipun
harus membayar kelas mandiri yang sangat mahal. Menjalani pendidikan dokter
hanya untuk memenuhi keinginan orang tua dan prestise, tanpa adanya penghayatan
profesi. Selain itu, masyarakat menilai para calon dokter ini mempunyai imej ‘high class’ yang terkesan kurang mau
berbaur dengan sekitar (hanya berbaur dengan sesama golongannya saja). Begitu
juga dengan para perawat yang banyak terkesan kurang terampil melaksanakan
tugas keperawatannya. Bahkan tidak sedikit perawat yang baru tamat sekolah,
belum cukup pelatihan tentang keperawatan tetapi sudah diberi kewenangan
menangani pasien. Mungkin faktor-faktor ini harus kita jadikan pembelajaran dan
sekaligus tamparan untuk mengatasi ‘bibit awal’ krisis kepercayaan di dalam
masyarakat.
Kebanyakan rumah sakit di negeri kita, memberikan pelayanan
yang masih jauh dari semestinya. Padahal
negeri ini mempunyai banyak dokter yang tidak kalah hebat, bahkan banyak yang
menjadi dokter yang handal di luar negeri. Namun tampaknya mentalitas
masyarakat kita, masih sering menganggap
bahwa semua yang luar negeri selalu lebih hebat, dan tidak yakin dengan
kemampuan bangsa sendiri. Hal lain yang juga
harus mendapat perhatian adalah, pelayanan kesehatan di luar negeri berlangsung
dengan integritas tinggi di antara komponen2 pendukungnya. Kerjasama tim dokternya
tampak lebih solid, jauh dari sikap arogan dari masing2 komponennya, dan selalu
mengutamakan kepentingan pasien di atas segala-galanya. Kondisi ini sangat
mendukung optimalisasi pelayanan kesehatan yang diterima oleh pasien. Satu hal
yang sangat mengesankan adalah tarif berbagai pelayanan medis yang mereka
berikan mereka dipaparkan secara jelas dan transparan. Dengan demikian, pasien dapat memprediksi sendiri perkiraan
biaya perawatan yang harus dikeluarkannya. Berbagai hal yang dikemukakan ini sudah banyak
diketahui dan dialami oleh masyarakat kita yang yang berobat ke luar negeri dan
sering menjadi perbincangan dalam hal membandingkan keterbukaan dan transparansi
serta fasilitas pelayanan medis yang mereka terima di luar negeri.
Satu pengalaman pelayanan medis yang saya terima ketika
mengalami warts di tapak kaki yang
menyebabkan saya susah berjalan. Waktu itu tahun 2002 dan saya sedang kuliah di
luar negeri. Keluhan ini sudah saya alami sebelum berangkat sekolah dan saya
sudah berobat ke dokter di dalam negeri. Ketika itu saya tidak mendapat
penjelasan apapun dari dokter yang merawat saya. Saya hanya diberi obat dan tidak sembuh2.
Akhirnya saya mencoba pergi ke salah satu rumah sakit di sana. Begitu masuk
ruangan, dokter yang menangangi saya dengan sangat ramah menyambut dan berkomunikasi
sangat baik dengan saya, walaupun pada saat itu kami menggunakan bahasa Inggris.
Dokternya memberikan penjelasan yang begitu logis dan menyarankan agar kaki
saya di laser agar ketuatnya terbuang semua. Laser dilakukan kurang lebih 20
menit dan setelah itu saya diberi obat untuk penghilang rasa sakit. Tiga hari
kemudian saya sudah dapat berjalan dan kuliah seperti biasa.
Ternyata untuk mengurangi kecenderungan masyarakat yang
dengan mudahnya terbang ke luar negeri, ada salah satu alternatif yang dilakukan
pemerintah yaitu dengan membangun rumah sakit bertaraf internasional dengan kondisi
bangunan yang bagus, nyaman dan dilengkapi peralatan yang canggih pula. Namun
hal ini tidak bisa dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat kita. Hanya
golongan-golongan atas saja yang bisa berobat di sana sementara yang dari golongan
bawah merasa minder karena takut terbentur dengan permasalahan biaya. Dengan
kata lain, solusi ini dianggap belum tepat sepenuhnya.
Jadi masyarakat menengah ke bawah harus berobat kemana? Untuk
mengurangi rasa minder tersebut, sebaiknya sebuah rumah sakit umum meningkatkan
mutu layanan medik. Namun ada tiga permasalahan yang karap kali membenturnya
dan harus banyak diperbaiki. Yang pertama, pengawasan pemerintah. Yang kedua, peningkatan
tentang perilaku dokter. Yang ketiga, menelaah sikap para pengusaha dalam
mengelola rumah sakit sekaligus tanggap terhadap masalah-masalah dan mau terjun
langsung melakukan sidak melihat keadaan.
Saya coba uraikan satu persatu. Masalah pertama soal
pengawasan ketat dari pemerintah. Banyak rumah sakit yang belum sepenuhnya menyentuh
pelayanan medik walau sebenarnya hal ini sudah di bawah naungan Departemen
Kesehatan RI untuk mengawasi mutu yang tidak hanya fokus pada kelengkapan sarana
tetapi harus memperhatikan aspek efisiensi dan ketepatan ketika menangani
pasien. Namun apakah ini terealisasi?
Masalah kedua, tentang peningkatan perilaku dokter juga
harus diperhatikan. Banyak sikap dokter di Indonesia kurang menempatkan
kepentingan pasien sebagai prioritas utama. Dalam hal berkomunikasi ketika
menjelaskan kepada pasien atau keluarganya masih sangat lemah, terkesan kaku
bahkan kurang ramah, alhasil tercipta gap
antara dokter dengan pasien. Coba bandingkan dengan contoh ketika kaki saya
hendak di laser. Tidak jarang banyak cerita yang berkembang di belakang soal
omongan masyarakat yang berkata “...malas
ah, dokter itu, ga ramah”. Selain sikap di atas, sering terjadinya problem intern soal hubungan antar para
dokter yang tidak sefaham (berbeda pandangan) akibatnya membuat pasien sering
menjadi taruhannya. Hal ini juga menjadi faktor yang menggoyangkan mutu layanan
untuk masyarakat kita berobat di dalam negeri.
Masalah terakhir yaitu sikap pengusaha rumah sakit jangan
terlalu cenderung kepada pengembalian modal dan keuntungan semata. Sehingga
mereka sering mengabaikan masalah-masalah kecil atau besar yang seharusnya
menjadi perhatian khusus. Masalah kecil yang dapat saya sebutkan yaitu soal sistem.
Hal yang paling dasar yaitu kebersihan ruangan rawat (sprei, selimut, gorden
yang kurang bersih), kamar mandi yang aduhai,
kelengkapan di ruangan yang masih minim (pispot yang tidak tersedia di semua
ruangan rawat), persediaan infus yang masih manual, tata letak dalam ruangan
yang kurang apik seperti keberadaan wayer berseliwiran, rembesan AC yang
membuat dinding menjadi kotor, semen tegel dinding tidak rapi, keberadaan ruang
tunggu untuk keluarga pasien ibarat naik kapal laut kelas 3 ditambah lagi
dengan sikap masyarakat kita yang terkesan cuek dan tidak turut menjaga
kebersihan. Selain itu ketertiban untuk menaati melepas alas kaki, menggunakan
baju khusus, memakai masker, mencuci tangan ketika memasuki ruangan ICU juga
masih sering dilanggar. Bahkan dokter sekalipun. Yang tidak kalah serunya adalah
tentang keberadaan kucing-kucing liar yang berlalu lalang, membuang air sembarangan
di areal ruang rawat pasien dan menjilati sisa makanan di piring pasien yang
terletak sembarangan. Bukankah rumah sakit seharusnya identik dengan ke-sterilan?
Namun kenapa pengusaha rumah sakit sepertinya tidak tanggap dan kewalahan
mengatasi hal kecil ini?
Lemahnya ekonomi rakyat dan lemahnya kepercayaan terhadap
pelayanan yang diberikan pemerintah serta permasalahan biaya dan prosedur yang
bertele-tele akhirnya membuat masyarakat seperti berbelok arah. Akhir-akhir ini
pengobatan tradisional, pengobatan alternatif bahkan pengobatan ala suku bangsa
mulai marak dipilih oleh masyarakat. Keberhasilan pengobatan ini disampaikan
melalui iklan-iklan yang ditayangkan untuk meyakinkan masyarakat beralih
pengobatan yang lebih alamiah dah terbukti ampuh. Apakah ini salah satu
strategi untuk mengurangi intensitas masyarakat kita berobat ke luar negeri?
Atau sebagai strategi untuk mengalihkan pengobatan dalam negeri yang serba
kacau?
Lantas apakah solusi terbaik? Apakah sudah saatnya kita tegas
mengganti sistem lama dan beralih kepada sistem baru? Sepertinya masalah di
rumah sakit hanya segelintir dari masalah kompleks yang dimiliki negeri ini.
Sebuah masalah berujung menjadi sebuah kendala besar yang selalu terbentur oleh
sistem yang telah berakar lama dan membudaya (enggan melihat ke luar), alhasil
sulit sekali rasanya mengajak apalagi mengganti kepada sebuah perubahan. Coba
tanya kenapa? Andai saja pemerintah mau mengupayakan bagaimana meningkatkan
taraf hidup masyarakat melalui pemberian solusi perkenomian yang baik, pasti
tingkat biaya kesehatan tidak akan mahal.