SELAMA ini, Amerika Serika (AS) menjadi kiblat ilmu komunikasi bagi masyarakat dunia. Namun, banyak universitas di Jerman juga menawarkan program studi ilmu komunikasi yang bermutu. Salah satunya adalah Technische Universitas (TU) di Ilmenau yang berjarak tiga jam perjalanan darat dari Frankfurt. Dari kota besar itu, Anda dapat naik kereta cepat (ICE) ke Erfurt dengan waktu tempuh dua jam lebih sedikit, lalu naik kereta biasa (Thuringen Bahn) ke Ilmenau, kota berpenduduk 30.000 jiwa, dengan waktu tempuh hampir satu jam. TU-Ilmenau terletak 500-600 meter di atas permukaan laut, dikelilingi perbukitan, sehingga pemandangan di sekeliling pun menawan.
Studi komunikasi di TU-Ilmenau beraneka ragam. Ada Program Studi Kajian Media Terapan (Medienwissenschaft) yang diketuai Prof. Dr. Martin Loeffelholz, di samping enam program studi lainnya, antara lain, manajemen media, komunikasi politik, aplikasi multimedia, dan desain media/psikologi, yang kesemuanya berada di bawah Institut fur Medien und Kommukationswissenschaft (ifmk). Menariknya institut ini dinaungi Fakultas Matematik dan Ilmu Alam, karena di TU-Ilmenau tak ada fakultas ilmu-ilmu sosial.”Ini untuk kepentingan pengorganisasian saja,” ujar Andreas Schwarz, Dipl.-Medienwiss., dosen dan kandidat doktor di ifmk. Dalam satu dua dekade belakangan ini ada kecenderungan bahwa universitas-universitas teknik di Jerman juga menawarkan ilmu-ilmu sosial, seperti juga ITB yang menawarkan program studi pembangunan dan administrasi bisnis (selain program studi seni rupa dan desain yang sudah lama ada).Namun, kecenderungan itu sudah lama ada di Massachussetts Institute of Technology (MIT) di AS.
Menurut Martin, ifmk didirikan tahun 1996, dan baru dibuka resmi tahun 1999. Ia sendiri sebagai perintis dan direkur pertamanya, meskipun kini ia tidak menjabat lagi.”Mulai tahun ini program studi akan lebih internasional. Gelar pertamanya adalah Bachelor, lalu Master, dan terakhir Doktor, yang menuntut masa studi masing-masing 3,5 tahun, 1,5 tahun, dan 3 tahun. Tetapi tahun ini baru dimulai program Bachelor, program Master dimulai paling cepat tahun depan,” kata Martin, seraya menambahkan bahwa tidak ada perubahan untuk program doktor; artinya, program doktor tetap merupakan penelitian.
Dalam tradisi lama, gelar pertama dalam pendidikan universitas di Jerman adalah Diplom (Dipl.) yang memakan waktu 4,5 tahun, yang setara dengan gelar S-2 di Indonesia. Maka gelar untuk lulusan kajian media di TU-Ilmenau adalah Dipl.- Medienwiss, dan untuk lulusan psikologi adalah Dipl.-Psych. Di ifmk sendiri masih ada sejumah mahasiswa yang terikat oleh sistem lama ini. Sebagaimana dikatakan Dr. Thomas Hanitzsch, dosen ifmk yang penelitian untuk disertasinya tentang peran wartawan di Indonesia, tidak semua orang di TU-Ilmenau menyukai perubahan sistem pendidikan karena tuntutan globalisasi ini.”Beberapa orang di TU-Ilmenau tetap menginginkan pendidikan ala Jerman dan bagi orang Jerman.” Tetapi, kini mahasiswa Jerman semakin berkurang karena jumlah anak rata-rata keluarga Jerman kurang dari dua orang. Jadi, kita harus mengantisipasi mahasiswa-mahasiswa asing yang ingin studi di Jerman,” kata Thomas.
Sebagaimana di Indonesia, di Jerman pun ilmu komunikasi populer. Kini, Jerman adalah negara yang paling banyak menerbitkan buku komunikasi di dunia, setelah AS. Setiap tahun tidak kurang 400 buku komunikasi terbit, plus belasan jurnal komunikasi. Dalam ungkapan Martin, ”Jumlah pakar komunikasinya kedua terbesar setelah jumlah pakar komunikasi AS.” Studi komunikasi di Jerman tampaknya sejalan dengan perkembangan ekonominya. Karena ekonomi Jerman maju, teknologi informasinya juga maju.
Ini berarti dibutuhkan lebih banyak ahli untuk mengisi lapangan kerja yang tersedia. ”Untuk studi komunikasi, TU-Ilmenau termasuk lima terbaik di Jerman. Kami sering dijadikan acuan oleh universitas lain, mungkin karena universitas kami lebih dinamis, masih baru, yang mengantisipasi perkembangan masyarakat, meskipun beberapa universitas lain sebenarnya punya jumlah mahasiswa komunikasi lebih banyak seperti di Munster, Bremen, dan Munchen,” kata Martin. Jumlah mahasiswa yang belajar Kajian Media Terapan di TU-Ilmenau kira-kira 700 orang. Jumah dosen permanen seluruhnya 30 orang. Jerman terdiri dari 16 negara bagian, dan setiap negara bagian punya kewenangan untuk mengatur pendidikan, bahkan universitas punya kewenangan luas untuk merancang kurikulum.
Tradisi media massa Jerman jelas merupakan lahan kajian yang kaya. Tradisi surat kabar di Jerman lebih tua daripada di AS, mungkin dapat dilacak hingga ke awal abad ke-17. Secara rasio surat kabar di Jerman lebih banyak daripada di AS. Selain itu, surat kabar Jerman, yang lokal sekalipun, sarat muatan politik, sementara para wartawannya pun lebih bebas daripada wartawan AS untuk menyiarkan informasi. Di Jerman juga terdapat banyak stasiun TV, dua TV publik nasional, ARD dan ZDF, beberapa TV Publik regional, dan puluhan stasiun TV swasta, yang antara lain adalah RTL, Sat 1, dan Pro Sieben. Siaran kebanyakan stasiun TV itu nyaris 24 jam perhari.
**
SEBAGAIMANA dikemukakan Hans-Bernd Brosius dan Christina Holtz-Bacha (1999), penelitian komunikasi di Jerman sudah lama mentradisi, setidaknya sejak awal abad 20. Lembaga pertama yang mengajarkan komunikasi adalah Institut fur Zeitungskunde di Leipzig pada tahun 1916. Munculnya disiplin ini memadukan dua usaha, yakni keyakinan bahwa surat-kabar memerlukan perhatian ilmiah yang sistematik dan usaha menawarkan pendidikan sistematik bagi wartawan untuk melengkapi pelatihan kerja mereka. Sama seperti di Indonesia, pendirian lembaga itu juga berarti pelepasan dari disiplin yang semula menaunginya seperti, dalam kasus Jerman, sosiologi, sejarah, dan ekonomi politik.
Segera setelah itu muncul pula departemen-departemen kajian media di beberapa universitas, seperti Universitas Munster (1918), Universitas Munchen dan Universitas Berlin (keduanya tahun 1924). Meskipun awalnya studi komunikasi berfokus pada surat kabar, disiplin ini berkembang dengan memasukkan kajian radio pada pertengahan tahun 1920-an setelah radio diperkenalkan di Jerman tahun 1923. Sayangnya ketika rezim Nazi berkuasa, ilmu komunikasi merosot. Mereka segera memberangus suara kaum oposisi, menjadikan disiplin ini sebagai alat kekuasaan dengan membawa orang-orang mereka sendiri dan mendukung akademisi yang patuh. Menjelang akhir PD II, kebanyakan jurusan komunikasi ditutup.
Namun segera setelah perang, beberapa lembaga tertua dibuka kembali di Jerman Barat (Munster, Munchen dan Berlin). Di Jerman Timur, sebuah departemen didirikan rezim komunis tahun 1954 untuk mendidik para wartawan. Dengan nama panggilan das rote Kloster (monasteri merah), mata kuliahnya disyaratkan bagi mahasiswa yang ingin memperoleh sertifikat untuk bekerja sebagai jurnalis. Setelah Jerman bersatu tahun 1990, departemen itu ditutup dan dibuka kembali sebagai jurusan komunikasi biasa.
Seperti di Indonesia, di Jerman pun awalnya banyak ilmuwan sosial meragukan ilmu komunikasi untuk menjadi bidang ilmu yang otonom, terlepas dari sosiologi misalnya. Bahkan, orang sekaliber Ferdinand Tonnies juga menyurutkan perkembangan ini dengan mengatakan bahwa suatu objek penelitian yang baru bukan berarti harus ada disiplin ilmu yang baru, sebab nanti akan ada ilmu ayam, ilmu bebek, dan ilmu angsa dalam zoologi. Namun, sejalan dengan semakin banyaknya ahli bidang ini, ilmu komunikasi pun mendapat pengakuan lebih luas (pertanda tumbuhnya bidang ini) perlahan setelah terbitnya dua jurnal penelitian komunikasi, yakni Rundfunk und Fernsehen (1953) dan Publizistik (1956), dan terutama sejak tahun 1963 ketika 16 profesor mendirikan Ikatan Ahli Komunikasi Jerman (Deutsche Gesselschaft fur Publizistik und Zeitungswissenschaft). Ini menandai era identitas-diri yang baru.
Menurut Brosius dan Holtz-Bacha, meskipun jumlah mahasiswa yang meminati komunikasi dan media meningkat secara tetap, terutama tahun 1970-an, perkembangan kelembagaannya lambat. Awal tahun 1970-an, Dewan Pers Jerman menyelenggarakan diskusi mengenai perlunya lembaga pendidikan jurnalistik. Para jurnalis saat itu biasanya melakukan dua tahun in-house training di penerbitan atau stasiun siaran. Itu dianggap tidak memadai berdasarkan alasan bahwa tuntutan kerja jurnalis itu berubah sehubungan dengan perubahan sistem media. Juga kaum politisi dan jurnalis itu sendiri khawatir mengenai kemampuan para jurnalis untuk mempertimbangkan konsekuensi peliputan mereka dan untuk bereaksi secara bertanggung jawab dalam suatu lingkungan sosial, politik, dan ekonomi yang semakin rumit.
Maka, dirintis oleh universitas di Munchen dan Dortmund, didirikan lebih banyak program jurnalistik 4 tahun atau pascasarjana 2 tahun di seluruh Jerman. Oleh karena sebagian program jurnalistik diintegrasikan ke dalam departemen komunikasi yang ada dan departemen lainnya juga menawarkan kuliah dalam komunikasi massa sebagai bagian dari kurikulum, maka secara kelembagaan, pendidikan komunikasi juga berkembang. Penyatuan Jerman (Barat dan Timur) bulan Oktober tahun 1990 membawa perkembangan bagi komunikasi dan jurnalistik ketika lembaga-lembaga baru dan departemen baru didirikan di bekas Jerman Timur, di antaranya di Leipzig, Dresden, Jena, dan Ilmenau.
Akan tetapi, perkembangan cepat disiplin ini tahun 1970-an itu juga ditandai dengan krisis identitas yang baru. Tokoh-tokoh ilmuwan dalam bidang ini berdiskusi mengenai identitas ilmu komunikasi dan batas-batasnya, seperti yang dikeluhkan Elisabeth Noelle-Neuman, (mantan) presiden Asosiasi Komunikasi Jerman, ”Di Republik Federal Jerman, komunikasi massa sebagai bidang penelitian spesialisasi dan sebagai kursus latihan dalam jurnalistik di universitas, akademi, dan lembaga lain masih mengalami kesulitan, meskipun 50 tahun sudah berlalu sejak munculnya profesor pertama dalam disiplin ini.”
Krisis yang dikeluhkan Noelle-Neuman kini sudah lewat. Studi komunikasi kini mendapatkan pengakuan bukan hanya di Jerman tetapi juga di Eropa pada umumnya. Belum lama ini dua asosiasi pakar komunikasi di Eropa, yakni the European Communication Association (ECA) dan the European Consortium for Communications Research (ECCR) bergabung menjadi the European Communication Research and Education Association (ECREA).
Menurut Martin, sejak tahun 1960-an masuklah pengaruh Amerika dalam pendidikan komunikasi di Jerman, yakni penggunaan metode empiris dalam penelitian komunikasi yang ditandai dengan penggunaan survei dan statistik. Sebelumnya, penelitian komunikasi/persuratkabaran lebih bersifat historis dan kritis (humanistik). Meskipun demikian, pendekatan humanistik (kualitatif) itu tetap bertahan, dan beberapa metode lain untuk mengkaji komunikasi pun terus berkembang., termasuk penggunaan analisis isi memang diperlukan berbagai perspektif untuk menjelaskan peradaban manusia yang semakin rumit ini, termasuk cara mereka berkomunikasi.
**
STUDI komunikasi di Jerman punya keunikan tersendiri. Asal Anda cukup cerdas, menguasai bahasa Jerman dan mampu menyediakan biaya hidup, Anda dapat studi di Jerman dengan gratis. Untuk studi S-2 dan S-3, jika Anda mau, Anda dapat melamar beasiswa DAAD (Deutscher Akademischer Austausdienst) yang ditawarkan pemerintah Jerman. Khusus untuk studi doktor, seperti di Australia, Anda hanya melakukan riset mandiri, jadi tidak ada kuliah. Beberapa universitas, seperti TU-Ilmenau, membolehkan Anda menulis disertasi dalam bahasa Inggris, jadi Anda tidak perlu menguasai bahasa Jerman. Selama masa studi, Anda tidak perlu selamanya ada di Ilmenau. Seperti Lukas Ispandriarno yang dosen Fisip Universitas Atmajaya Yogyakarta, Anda cukup tinggal 2-3 bulan setiap tahun di Ilmenau untuk berkonsultasi dengan pembimbing Anda sambil melakukan penelitian literatur.
Biaya hidup di Ilmenau relatif murah. Untuk sewa kamar, Anda harus menyediakan kira-kira 100-150 Euro, asal Anda mau tinggal berdua dengan teman lain dalam satu kamar. Jika Anda menginginkan kamar sendiri dengan kamar mandi dan dapur bersama atau kamar mandi dan dapur sendiri, sediakan 150-300 Euro. Untuk makan, cukup 200 Euro sebulan, asal Anda tidak sering makan di kafetaria. Pengeluaran total Anda sebulan, termasuk membayar telepon, kira-kira 500-600 Euro. Namun Anda harus membawa uang lebih, karena Anda perlu biaya fotokopi, membeli buku, dan jalan-jalan untuk menghilangkan kejenuhan. Agar leluasa, sediakanlah kira-kira 700 Euro atau kurang lebih 8,5 juta rupiah perbulan di luar biaya perjalanan pp ke Jerman.
Anda yang ingin studi S-3 dapat menghemat biaya, karena Anda cukup tinggal 2-3 bulan per tahun. Taruhlah Anda tinggal selama 12 bulan selama program doktor itu (selama 4 tahun), maka Anda harus mengeluarkan biaya 12 kali Rp 8,5 juta = Rp 102 juta. Plus tiket dari Jakarta ke Jerman pp sebanyak empat kali (Rp 40 juta), maka biaya keseluruhan adalah Rp 142 juta. Biaya sebanyak ini mungkin setara dengan biaya untuk studi doktor di dalam negeri selama 4 tahun. Tetapi itu untuk hidup di Ilmenau yang kota kecil. Untuk studi di kota besar seperti Bremen, Muenchen, Berlin, atau Hamburg, tentulah biaya hidup lebih mahal lagi.
”Hubungi dulu profesor yang bersedia menjadi pembimbing Anda. Tulis dulu proposal penelitian Anda sebanyak lima halaman dan kirimkan kepadanya. Jika ia setuju, tulis lagi proposal yang sama sebanyak 20 hingga 30 halaman dan kirimkan lagi kepadanya. Jika ia setuju, maka Anda resmi diterima sebagai mahasiswa S-3,” kata Thomas yang fasih berbahasa Indonesia dan beristrikan perempuan Yogyakarta ini. Siapa tertarik studi di Jerman?***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Pengalaman Membuat Surat Keterangan Berbadan Sehat Jasmani dan Rohani serta Bebas Narkoba di RSU Pirngadi Medan
Tanggal 26 Juli 2019, sekitar jam 9 pagi saya mendapat WA dari bagian kepegawaian kampus untuk melengkapi berkas salah satunya adalah mengur...
-
Tanggal 26 Juli 2019, sekitar jam 9 pagi saya mendapat WA dari bagian kepegawaian kampus untuk melengkapi berkas salah satunya adalah mengur...
-
Stereotipe Gender (Wanita) dalam Iklan Media Massa Kebanyakan kajian-kajian yang menjadikan wanita sebagai objek pengamatannya, mendapat...
1 komentar:
wooowww....ini artikel kakak yg tulis ya?
Posting Komentar